Bangla Latest Music Videos
Latest Bangla Movies
Latest Movie Trailers
Dalam 10 Menit Penyakit Pasien Dapat Terdeteksi
Menjelajahi
seisi ruang USNS Mercy tidaklah mudah. Jika ceroboh kita akan tersesat. Tur di
dalam kapal rumah sakit ini ternyata sangat mengasyikan.
ANSARI
HASYIM, Banda Aceh
PERWIRA
Angkatan Laut Amerika itu menyalami satu per satu para wartawan sesaat akan
memasuki lambung USNS Mercy yang lego jangkar di perairan Ulee Lheue, Banda
Aceh, sejak Minggu 23 Juli lalu. "Wellcome to USNS Mercy," kata Dony
Bray, Leading Chief United State Navy Ship (USNS) Mercy dengan senyum
sumringah.
Seorang
marinir lalu membagikan ID card bertuliskan 'Visitor' kepada wartawan sebelum
masuk ke lambung kapal yang memiliki sembilan lantai dengan luas 894 kaki itu. "Kepada
rekan-rekan diharapkan tidak memisahkan diri dari rombongan," ujar Mary
Elizabeth Polly, Public Affair Officer pada Kedutaan AS di Surabaya.
Permintaan
itu sebelumnya telah disampaikan Marry saat sesi arahan kepada rombongan
wartawan yang berjumlah 20 orang dari berbagai media, sekitar 20 menit lalu. Warning itu sengaja disampaikan, bukan
hanya oleh wanita bule itu, tapi juga oleh awak kapal USNS Mercy.
Mereka tidak
menghendaki ada wartawan yang tersesat dalam lambung kapal, karena
kecerobohanya tidak mengikuti aturan. "Kalau tanpa ada seorang awak kapal
yang memandu bisa-bisa Anda akan tersesat," jelas Bray.
Semua daftar
nama rombongan dicek satu persatu. Semua wartawan tampaknya bisa memahami itu.
Maklum saja, beberapa wartawan ada yang baru pertama kali menjejakkan kaki
mereka ke kapal rumah sakit terapung milik Angkatan Laut AS itu. Beberapa
lainnya, kunjungan tersebut merupakan pangalaman kedua mereka.
Setelah
beres semua, Bray berjalan di baris paling depan d ikuti beberapa anggota
marinir kemudian disusul rombongan para wartawan. Tur keliling lambung kapal
dimulai. Flight deck, sebuah
fasilitas pendaratan heli yang ada di kapal itu menjadi tujuan pertama kegiatan
kunjungan kali ini.
Tapi, untuk
mencapainya cukup menguras energi. Karena flight deck berada pada bagian paling
atas area kapal (top level). Untuk menuju ke sana, siapa saja harus melewati
tujuh lapis ruangan dengan berjalan kaki. Ada juga fasilitas lift. Namun, daya
tampungnya sangat terbatas. Cukup melelahkan memang.
Tapi, berada
di USSN Mercy juga sangat menyenangkan. Setidaknya, ini adalah kesempatan yang
sangat berharga bisa melihat langsung suasana dalam ruangan kapal yang
menghebohkan penduduk Aceh itu, sewaktu Mercy partama kali terlihat pada 4
Januari 2004 lalu di perairan Aceh dalam misi membantu para korban tsunami.
Karena
statusnya sebagai kapal rumah sakit, maka hampir di setiap dinding ruangan
terlihat sejumlah peralatan evakuasi korban. Semisal tandu, dan sekat-sekat
kamar khusus dengan tulisan jelas di setiap bagian atas pintu masuk.
Di bagian
fligh deck, terdapat beberapa fasilitas penting kapal. Seperti segala hal
berkaitan dengan sistem navigasi dilakukan di sini, dalam sebuah ruang tertutup
yang didesain khsusus. Dengan sistem navigasi yang canggih itu, awak kapal
dapat mengetahui dimana posisi USNS Mercy berada sekaligus memonitor lalulintas
penerbangan (take off) dan pendaratan
(landing) sejumlah helikopter.
Ketika
bencana tsunami melanda Aceh, peran fligh deck sangat menentukan. Di landasan
ini para pasien korban tsunami didaratkan para awak heli untuk selanjutnya
dievakuasi ke ruang perawatan yang berada dalam lambung kapal.
Flight deck
utama sekali dipakai untuk kondisi darurat jika korban tidak memungkinkan
menjalani evakuasi melalui jalur laut. Selain ada helikopter HC-25, sejenis Sea
Hawk, Mercy juga memiliki sejumah kapal motor dan speed boat dengan daya jelajah tinggi. Umumnya kapal motor ini
dipakai untuk mengevakuasi korban melalui jalur laut.
Di Top Level
ini juga ada fasilitas teropong dengan kemampuan jangkauannya yang sangat
handal untuk memantau berbagai perkembangan di darat. Meskipun statusnya kapal
rumah sakit, Mercy juga dilengkapi dengan beberapa paralatan persenjataan berat
yang dipasang pada sisi kanan dan kiri kapal dan setiap saat mendapat pantauan
dari dua orang personil Angkatan Laut wanita.
Setelah di
sini, rombongan kemudian beralih tempat. Semua wartawan mengikuti saja arahan
Bray yang menjadi pemandu. Bray adalah sosok yang sangat familiar. Dia tidak segan menjelaskan apa saja yang
ingin diketahui. Kadang Mary dan Gini Adityawati, rekan sekerja Mary
menjelaskan kembali mengenai apa saja yang dikatakan Bray yang belum dipahami.
Kali ini
rombongan berada di ruangan Crew and LTD Care Patient Mess. Di sini banyak
sekali awak kapal. Wartawan sempat kaget karena suasana dalam ruang persis
seperti sebuah acara perayaan pesta. Di ruang ini juga tersedia sebuah layar
monitor yang berfungsi untuk memberi sesuatu penjelasan bagi awak kapal. Juga
ada persediaan makanan yang boleh diambil kapan suka.
Diantara
seratuan personil angkatan laut AS, terdapat sejumlah anggota TNI yang selama
tiga pekan menjalani berbagai program pelatihan dari awak USNS Mercy. Mereka
berbaur dengan suasana penuh keakraban. Selain Bray, para wartawan juga
mendapat penjelasan mengenai berbagai informasi tentang Mercy dari Captain
Bradley D Martin.
Komandan
Pasukan Amphibi 7 Angkatan Laut AS ini menjelaskan beberapa alur proses
evakuasi pasien yang didatangkan dari darat untuk kemudian mendapatkan
perawatan di USNS Mercy. Dia menjelaskan skema sederhananya. Bila menggunakan
evakuasi jalur udara, pertama-tama pasien didaratkan landasan flight deck.
Kemudian masuk ruang casualty reception.
"Disini
pasien didata sebelum menjalani pemeriksaan terkait dengan kondisi yang mereka
alami," kata perwira yang pernah bertugas di kapal USS Midway (CV41) yang
berpangkalan di Yokosuka, Jepang ini.
Setelah itu
ada kalanya pasien diperiksa secara seksama mengenai jenis penyakit atau
keluhan apa yang mereka alami melalui sebuah proses scanning di ruang radiologi. Pada ruang radiologi ini ada sebuah
alat yang disebut CT Scan. Alat ini mampu mendeteksi setiap penyakit
dalam waktu yang relatif singkat. Cara menggunakan alat ini, pasien ditidurkan
terlentang kemudian disorong ke dalam.
"Butuh
waktu 10 menit untuk mengirimkan hasil gambar dari proses scanning ini ke
bagian radiologi," jelas Wells, seorang para medis di ruang itu. Sejak
digunakan 3 tahun lalu CT Scan ini telah menscan 200 orang pasien.
"Kehebatan dari alat ini, dokter dapat langsung mengdiagnosa apa saja
jenis penyakit pasien," katanya.
Mendoza,
seorang para medis lainnya mengatakan, di ruang radiologi ini semua perangkat
di jalan menggunakan sistem ultra digital. “Tidak ada penggunaan bahan kimia
apapun dalam proses ini,” kata Mendoza.
Bagian dari
skema ini, juga terdapat ruang pemulihan pasien (recovery room). Ruang ini dihuni para pasien yang sudah memasuki
dalam masa penyembuhan. Bagi mereka yang dinyatakan sudah membaik akan diantar
kembali ke daerah asalnya menggunakan heli kopter.
Penanganan
pasien ini hanya bagian terkecil dari yang kemampuan medis yang dimiliki USNS
Mercy. Menurut beberapa catatan, Mercy juga didukung tim Showband.Tim yang
terdiri dari 16 musisi Angkatan Laut ini telah melakukan tur ke berbagai tempat
seperti Afrika, Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Karibia.
Band ini
memainkan musik pop klasik hingga jenis musik teranyar saat ini. Dengan senang
hati para musisi ini menghibur semua kelompok dari anak-anak hingga orang
dewasa. Untuk wilayah Asia, merupakan yang pertama kali dilakukan sejak
kelompok band ini ditugaskan ke USNS Mercy.
Sedangkan
untuk memenuhi kebutuhan makan para awak kapal, Mercy mempunyai sebuah dapur
terapung dengan para pekerja profesional. Para koki yang tergabung dalam Food
Service Division ini mampu memberi makan kepada sedikitnya 2.500 orang awak
kapal tiga kali sehari. Di ruangan ini juga tersedia berbagai jenis makanan.
Salah satu menu yang paling digemari adalah sejenis udang rebus dengan
cangkangnya yang besar.
Tur
menjelajahi lambung kapal dengan segala keajaiban di dalamnya berakhir selama
lima jam. Selanjutnya, Bray yang memandu rombongan membawa para wartawan ke stagging room. Dimana sekitar 40 pasien
dari berbagai usia telah menunggu untuk menjalani pemeriksaan dokter.
“Selama
dalam ruangan jangan membuka apapun yang tertutup. Dan yang paling penting, tolong
jaga kondisi pasien dan kondisi psikologis mereka,” katanya mengingatkan. (26-7-2006)
Top of Form
Bottom of Form
Kisah Para Pemecah Rekor Renang ASEAN Para Games 2011 di Solo (3)
Sudah Punya Firasat, Lihat Wajah Anak lewat HP
Heri adalah perenang lain yang berhasil memecahkan rekor. Sejak awal dia bahkan sudah punya firasat akan merebut medali emas di nomor sepesialisnya itu. Sebuah keyakinan yang begitu kuat.
Riznal Faisal, Solo
“Ini foto anak saya. Dia lahir pada tanggal 11-11-2011,” ujar lelaki bertubuh agak kurus itu sambil menunjukkan foto di hand phone (HP)-nya. Rupanya wajah seorang bayi lelaki yang terlihat tengah tertidur pulas. “Sampai saat ini saya belum pernah melihatnya langsung dan menggendongnya,” ujarnya terlihat sedih.
Kerinduan mendekap sang buah hati kini membuncah di dada Heri. Sebab, ketika anaknya lahir, dia masih berada di Solo mengikuti pemusatan latihan untuk persiapan ajang olahraga penyandang cacat ini. Jadi, tak sempat menemani istrinya Nidia saat kelahiran putra pertamanya Gian Alaska.
“Saya sempat gelisah jelang kelahiran itu. Malam itu saya tak bisa tidur,” katanya sambil menceritakan perjuangan istrinya melahirkan anak pertama mereka di kampung halamannya di Pontianak, Kalimantan.
Sebab itu, tak berlebihan bila Heri merasa bahwa rekor baru dan emas ini merupakan kado terbaik atas kelahiran anaknya itu. “Ini rezeki anak saya,” ujarnya saat ditemui di mes atlet di Asrama Haji, Solo, kemarin.
Heri adalah peraih medali emas sekaligus pemecah rekor renang nomor estafet 4x 100 gaya bebas putra dengan rekor 4,29 menit. Rekor lama 4,44 menit yang dipegang oleh perenang dari Thailand. Rekor itu dicetak bersama empat rekannya yang lain yaitu Agus Ngaimin, Musa dan Rahmadi.
Ini bukan prestasi pertama yang diciptakan oleh Heri. Sebelumnya di event yang sama di Malaysia, Heri juga berhasil memecahkan rekor 50 meter gaya bebas yang sebelumnya dipegang oleh perenang Thailand. Rekor baru yang dicetaknya dengan waktu 29 detik, selisih satu detik dari rekor lama, 30 detik.
Prestasi lain saat PON 2008, dia meraih 2 emas dan 1 perak. Yaitu di nomor 50 meter gaya bebas (emas), 200 meter gaya bebas (emas), dan 50 meter gaya kupu-kupu mendapat medali perak. Di POR Caprov (Pekan Olah Raga Penyandang Cacat Provinsi) Kalimantan 2009, dia menyabet 3 medali emas.
Serangkaian prestasi itu tak didapat dengan mudah. Bungsu 7 bersaudara itu sudah terkena polio sejak berumur 10 tahun. Saat itu dia baru kelas 4 SD. Sebab itu, ketika pergi ke sekolah dia sering digendong oleh abang atau temannya. Tapi, dua tahun kemudian, ketika duduk di kelas 6 SD kebiasaan lain muncul.
“Saya sering berenang sendiri ke sekolah,” kata pegawai Dispora itu mengenang. Kebetulan jalan menuju ke sekolah memang harus melewati sungai. Kebiasan itu akhirnya menjadi rahmat bagi Heri kelak. Kebiasaan itu pula yang akhirnya membawanya ke jajaran perenang andal di event penyandang cacat.
Lantas apa rencananya dengan bonus Rp 40 juta yang diterima atas raihan medali itu? “Saya akan belikan sesuatu yang istimewa untuk anak dan istri saya. Apa itu? Rahasia,” ujarnya lantas tertawa. Selebihnya, uang tersebut akan ditabung dan memperbaiki rumah. (21/12/2011)
Biodata
Nama : Heri
Tempat/Tanggal Lahir : Pontianak, 1979
Pendidikan : SMP Paket C 2001
Pekerjaan : Atlet Renang
Ayah : Jhoni
Ibu : Sumiati
Prestasi :
1. ASEAN Para Games 2011, Solo, emas, renang 4x 400 meter gaya bebas
2. ASEAN Para Games 2009, Malaysia, emas, renang 50 meter gaya bebas
3. PON 2008, meraih 2 emas dan 1 perak.
4. POR Caprov (Pekan Olah Raga Penyandang Cacat Provinsi) Kalimantan 2009, 3 medali emas.
Melihat Prosesi Interview Calon Pejabat ala Pemerintahan Irwandi
Sangat Rahasia dan Tak Boleh Kenal Penguji
Proses penjaringan calon pejabat di Aceh mulai memasuki tahap-tahap menentukan. Ada yang kelihatan shock, tapi banyak yang terlihat tenang. Bagaimana pendapat para kandidat dan penguji mengenai uji kelayakan ala pemerintah Aceh ini?
ANSARI HASYIM, Banda Aceh
SEJUMLAH pria berpakaian PNS tampak duduk menunggu di sebuah ruangan gedung Serba Guna Setda Aceh. Raut wajah mereka tampak rileks saat berbincang sesamanya. Padahal, beberapa dari mereka itu baru saja keluar dari sebuah kamar yang terletak di lantai tiga Kantor Gubernur Aceh. Kamar tempat para calon pejabat itu diuji.
Satu di antara kandidat yang baru keluar itu adalah Drs Anas M Adam MPd, Kepala Dinas Pendidikan Aceh. Dia tampak tersenyum sumringah ke arah beberapa wartawan yang siang itu tengah menunggu perkembangan terbaru soal tes calon pejabat eselon II yang dilaksanakan gedung Serba Guna Setda Aceh itu.
"Saya sangat berkesan dengan tes ini. Banyak hal baru saya dapat," kata Anas seraya meninggalkan ruangan.
Siang kemarin lelaki berkumis lebat itu menjadi satu di antara 241 calon pejabat Eselon II yang mengikuti interview (wawancara). Ada 10 orang penguji (assesor) yang ikut terlibat dalam tes tersebut.
Ruangan tempat wawancara berlangsung terlihat sangat tertutup. Hanya ada seorang peserta dan dua orang penguji di dalamnya. Kegiatan tanya jawab itu berlangsung 30 menit untuk setiap peserta. Masing-masing calon diuji oleh dua orang assesor yang merupakan kombinasi penguji asal Aceh dan luar Aceh.
"Sewaktu ditanya saya tidak gugup. Karena yang ditanya itu adalah hal-hal rutin yang selama ini sering saya lakukan," kata Anas menjelaskan perasaannya.
Ia mengakui sempat kaget dengan tes yang baru pertama kali diikutinya dan terkesan unik itu. Misalnya, antara calon dengan penguji sebelum tidak pernah saling mengenal satu sama lain. Mereka bertemu hanya dalam ruangan ketika tes akan dilakukan.
Caranya pun benar-benar jitu dan sangat rahasia. Sebelum memasuki ruangan, calon yang akan dites, lebih dulu diundi. Sehingga tidak satu pun calon yang mengetahui siapa penguji yang akan dihadapi dan juga sebaliknya si calon tidak tahu siapa yang mengujinya.
"Saya kira cara seperti ini sangat bagus dan terus terang saya sempat merasa sedikit gugup karena saat itu saya belum tahu siapa yang mengetes saya," kata Anas yang mengantongi nomor urut 025.
Bagi sebagian calon peserta lain, ikut menjadi salah satu peserat dalam tes calon pejabat eselon II ini memberi arti tersendiri bagi buat mereka. Setidaknya ini pula yang diakui Dr Anshar Patria. Lelaki jebolan doktor dari Universiti de Nantes, Prancis, itu punya cita-cita besar ingin membangun Aceh ke depan.
"Selama ini kita hanya berkutat di kampus dengan banyak teori-teori yang kita pelajari. Tapi, sangat sedikit yang bisa kita praktekan di lapangan," kata alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.
Keikutsertaanya dalam tes tersebut ternyata juga mendapat dorongan kuat dari pihak keluarga. "Bukan hanya istri, tapi juga anak-anak dan beberapa teman ikut mendukung saya," jelasnya.
Anshar mengaku tidak ada hal yang baru dalam tes wawancara kemarin yang ia jalani. Sebab, semua pertanyaan yang diajukan oleh penguji masih berkisar pada hal-hal yang rutin dan memang sudah akrab dalam kesehariannya sebagai akademisi kampus.
Tapi, dia mengaku salut dengan metode perekrutan dan tools yang digunakan dalam tes tersebut. "Ini sesuatu yang baru bagi saya. Tim penguji juga sangat akomodatif," kata lelaki itu.
Seorang peserta lainnya, Drs Anwar Muhammad mengatakan, tidak begitu sulit menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para penguji. "Ada beberapa pertanyaan yang diuji. Saya tidak hitung. Cuma kalau ada topik yang lebih luas, maka pertanyaannya bisa lebih sepuluh," kata lulusan dari Curtin University of Wastern Australia itu.
Saat menjelaskan pengalamannya, Anwar terlihat santai dan sesekali tersenyum sumringah. Padahal saat itu lelaki yang menjabat sebagai Wakil Kepala Dinas Pendidikan ini baru saja keluar dari ruangan wawancara.
"Secara psikologis saya tidak merasa tertekan. Bahkan apa yang ditanya itu justru hal-hal yang rutin kita laksanakan dalam tugas," kata Anwar yang berobsesi akan melanjutkan program pendidikan yang selama ini sudah berjalan bila lolos tes nanti.
Lantas bagaimanakah pendapat tim penguji yang ikut terlibat dalam melakukan penilaian terhadap peserta? Bagi Dr Erna Widodo keterlibatan dalam tes calon pejabat eselon II di Aceh tersebut adalah pengalaman pertamanya.
"Kalau untuk tes seperti ini untuk kalangan PNS ini yang pertama kali buat saya," ujar master di bidang SDM Universitas Negeri Jakarta itu.
Erna merasa kagum sekaligus salut dengan cara berpikir Gubernur Irwandi Yusuf yang melakukan penjaringan calon pejabat tersebut dengan melibatkan tim assesor. Sebab, kata Erna, biasanya cara-cara seperti itu kebanyakan dilakukan oleh perusahaan swasta dalam merekrut calon karyawan di perusahaan yang bersangkutan.
Dia mengakui, standar tes yang dilakukan tersebut sudah sangat teruji yang merupakan tools yang digunakan berasal dari lembaga PBB, UNDP. "Kita salut dengan cara Pak gGbernur berpikir," ujarnya.
Meskipun baru pertama kali menguji calon pejabat di Aceh, namun jam terbang Direktur Lembaga Pengkajian dan Training Cakra Keusuma ini sudah tidak terhitung lagi. Lembaga yang dia pimpin yang juga merupakan lembaga Assesment Center telah banyak melakukan tes para calon karyawan di sejumlah perusahaan swasta di Jakarta.
Erna meyakini bila memang tes ini berjalan baik, maka pemerintah Aceh akan mendapatkan calon-calon pejabat yang memiliki integritas baik dan pantas untuk menduduki posisi yang dipilihnya. "Dalam hal ini tugas kita hanya untuk menilai dengan angka-angka. Tapi, tidak untuk menentukan siapa yang lulus atau yang tidak," jelasnya.
Dia sendiri merupakan salah satu anggota tim penguji yang dikirim oleh Sekolah Tinggi Ilmu Politik dan Pemerintah Abdi Negara (STIBAN) Jakarta. Selama berhadapan dengan calon peserta Erna ternyata memilik kesan tersendiri.
"Secara umum semua mereka ini bagus-bagus. Baik dari segi tulisan maupun saat memaparkan visi dan misi mereka ketika menjabat nanti. Kalau menjadi pemimpin itu memang harus dites multivariable," jelasnya.
Pengalaman Erna ternyata berbeda dengan apa yang dialami, Dr Elit Merthayasa PhD. Lelaki jebolan Berkeley International University, Los Angles, USA itu mengatakan, ada beberapa peserta yang kelihatan sedikit shock saat berhadapan tim asessor ketika wawancara berlangsung.
"Ya memang karena prosesnya melalui acak, tadi ada beberapa calon yang kelihatan shock. Tapi ini tidak mempengaruhi mereka dalam menjawab setiap pertanyaan yang kita ajukan," jelasnya.
Menurut Alit, ada beberapa hal yang menjadi fokus tim assesor dalam melihat karakter dan pola pikir calon. Terutama dalam hal kemampuan mereka menjelaskan apa yang menjadi program kerja yang akan mereka jalan saat menjabat nanti.
Selain itu, pada calon peserta juga dilihat apakah ada muatan conflit of interest atau memiliki sebuah pemahaman team work. "Sebab jabatan yang mereka duduki adalah jabatan publik dan akan menjadi partner gubernur," tukasnya.
Dari perjalanan tes yang dilakukan tersebut, ada satu hal yang unik. Yaitu antara assesor dengan peserta tidak boleh ada yang saling mengenal di dalam ruangan kendati mereka diundi.
Bila setelah diundi ternyata ada salah seorang assesor mengenal calon maka, assesor yang bersangkutan akan berpindah posisi ke ruangan lain. Ini dilakukan agar tes benar-benar berjalan objektif di lapangan.
"Ada beberapa kejadian seperti ini. Dan assesor yang bersangkutan melaporkan kepada panitia dan secara otomatis akan diganti dengan asessor yang lain," jelas Juru Bicara Panitia Seleksi, Ahmadi Meuraxa.
Kejadian tersebut, kata dia sangat berpeluang terjadi. Sebab, ada asessor yang merupakan guru/dosen bagi peserta saat menempuh studi di perguruan tinggi.
Atau juga sebaliknya. Untuk itu, kata Ahmadi, tim assesor dibentuk dua orang, satu dari Aceh, satu lainnya dari luar Aceh untuk mengantisipasi hal tersebut terjadi saat tes berlangsung.
Ahmadi menyebutkan, untuk Sabtu mendatang para peserta akan menjalani reasoning test. Tes ini dinilai ujian paing berat bagi para peserta karena menyangkut dengan tes EQ dan kemampuan menerjemahkan soal-soal dalam bahasa Inggris. Soal nya pun tidak tanggung-tanggung. Pemerintah Aceh memesannya dari University of Manchester, Inggris. (17/1/2008)
Derita Korban Tsunami setelah Tiga Tahun Rehab-Rekon Aceh (3)
Optimisme BRR dan Problem Manusia Barak
Kemarin, 26 Desember 2007, tepat tiga tahun proses rehab-rekon berlangsung
di Aceh. Ada banyak kemajuan yang dicapai. Ada juga kekurangan. Apa parameter
yang digunakan untuk mengukurnya. Inilah kacamata para pengamat mengenai proses
pembangunan kembali daerah bekas tsunami itu.
MARDANI MALEMI/ANSARI HASYIM, Banda Aceh
DETIK-DETIK
peristiwa bencana tsunami 26 Desember 2004 lalu, kemarin diperingati untuk
ketiga kalinya. Puluhan ribu warga Aceh larut dalam untaian doa dan air mata
mengenang kepergian sanak saudara, kerabat yang meninggal dalam peristiwa tiga
tahun silam itu. Prosesi itu berlangsung di meunasah, mesjid hingga di kuburan
masal.
Tapi,
seremonial ini belumlah memberi arti penting bagi sebagian korban yang selamat
dari musibah itu. Setidaknya, ini dirasakan oleh empat ribu lebih korban
tsunami di Aceh yang masih tinggal di pengungsian. Kondisi ini pula yang
membuat sejumlah pihak di Aceh masih terus menyuarakan keprihatinannya atas
kinerja BRR Aceh-Nias.
"Memang
ada hal-hal yang kita cermati bahwa banyak kemajuan yang telah dicapai oleh BRR
dalam masa tugasnya. Tapi, ini bukan menjadi sebuah ukuran keberhasilan yang
dapat dibanggakan," kata Ketua Komisi A DPR Aceh Khairul Amal.
Bagi
politisi FPKS ini, yang dikatakan sebuah keberhasilan BRR bisa dipandang dari
banyak sudut. Salah satunya adalah adanya kondisi dimana tidak ada lagi korban
tsunami yang tinggal di barak-barak pengungsian. "Ini semestinya yang
menjadi ukuran kita menilai BRR sudah berhasil menjalankan tugasnya di
Aceh," tukas Amal.
Menurut
Khairul, untuk ukuran tiga tahun, apa yang telah dilakukan BRR masih menyisakan
banyak pertanyaan bagi sebagian pihak. Disatu sisi, ada banyak infrastruktur
yang hancur pascatsunami kini sudah dibangun kembali BRR. Tapi, tidak untuk
pembangunan rumah bagi korban.
Misalkan
saja, kata dia, persoalan pembangunan rumah warga Deyah Raya, Kecamatan Syiah
Kuala yang sempat memunculkan reaksi penolakan masyarakat setempat. Ratusan
rumah bantuan Bakrie Brothers Group itu dinilai tidak layak huni karena
dibangun dari bahan asbes dan berpotensi mengganggu kesehatan warga.
Masalah ini
hingga sekarang belum menemukan solusi kongkret dari BRR. Bahkan sekitar dua
unit rumah di kawasan itu sempat dibakar warga sebagai bentuk kekesalan atas
sikap BRR yang tidak mengakomodir aspirasi warga yang meminta dibangun kembali
ratusan rumah di kawasan itu sesuai dengan standar.
Dia
menyebutkan, konflik semacam ini masih terjadi dan BRR harus ikut bertanggung
jawab mencari solusinya. "Banyak mereka korban tsunami yang datang ke DPRA
dan melaporkan keluhan mereka terhadap apa yang mereka alami di barak-barak
pengungsian," ungkapnya.
Terkait
pemenuhan kebutuhan dasar ini juga diungkapkan akademisi Unsyiah, Dr Mawardi
Ismail SH M Hum. “Bila ini tidak bisa dipenuhi, saya khawatir ini akan
menimbulkan gejolak di tengah-tengah masyarakat korban karena mereka merasa
tidak diperhatikan," kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
itu.
Pascatsunami
memang diakui banyak bangunan-bangunan baru berarsitektur mewah dan konstruksi
fisiknya dibangun tahan gempa. Menurut Mawardi ini merupakan bagian dari nikmat
yang harus disyukuri masyarakat Aceh kendatipun harus dengan mengorbankan
ratusan ribu korban nyawa.
Menurut
akademisi Unsyiah itu, Aceh setelah tiga tahun tsunami telah menjadi sebuah
daerah yang terbuka dan dikenal dunia. Namun, hal ini tidak sejalan dengan apa
yang terjadi di tengah masyarakatnya yang hingga kini masih ditemukan berbagai
persoalan.
Menurut
penilaiannya, ukuran keberhasilan pembangunan di Aceh pascat sunami dapat
dilihat dari terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat korban. "Kalau masih
ada dampak yang terlihat dari bencana ini seperti halnya ada para pengungsi
yang masih menghuni barak itu belum dikatakan berhasil," jelasnya.
Meskipun
demikian Mawardi mengakui ada kemajuan yang dicapai BRR apabila dibandingkan
dengan dua tahun sebelumnya. Tapi, hal tersebut dinilai belum cukup.
"Semestinya
tiga tahun setelah tsunami, di Aceh tidak ada lagi korban yang tinggal di
barak. BRR sudah dapat membebaskan berbagai persoalan yang terkait dengan
pengungsi dan untuk kemudian fokus untuk persoalan lainnya. Misalkan terkait
dengan penyerahan asset,"
tukasnya.
Kritik yang tak kalah keras dilontarkan Aktivis Gerakan Anti Korupsi
(GeRAK) Aceh, Akhiruddin Mahyuddin.
”Saya tidak bisa mengatakan apakah BRR sudah berada
di jalan yang benar atau salah. Tapi, setelah tiga tahun tsunami, saya
harus jujur mengatakan bahwa rehab-rekon belum memuaskan. Masih banyak hak-hak
dasar korban tsunami belum terpenuhi. Penghuni barak masih banyak dan rumah
belum terselesaikan seluruhnya,” kata dia.
Terlalu banyak persoalan dan kekeliruan yang
dilakukan BRR bila dihitung satu- persatu. Rumah yang tak layak huni akibat
ketidaksesuaian spesifikasi, berbahan asbestos yang membahayakan kesehatan,
hingga penipuan publik yang dilakukan BRR.
Udin – pangilan akrab Akhiruddin -- pun
mencontohkan pembangunan 50 unit rumah di Gampong Peulanggahan, Banda Aceh,
yang diklaim BRR telah selesai pembangunannya. Tapi ternyata kenyataan di
lapangan tidak demikian adanya. Padahal, BRR sendiri menargetkan tahun 2007
seluruh rumah bagi korban tsunami akan siap.
Memasuki masa injure
time, berakhirnya tugas BRR April 2009, dia pesimis bahwa perubahan
akan tercapai. ”Akan banyak hal yang tidak akan terselesaikan sampai masa tugas
BRR berakhir,” ujarnya. Termasuk, pembangunan jalan Banda Aceh-Calang-Meulaboh.
”Waktu satu tahun tidak mungkin pembangunan jalan itu selesai.”
Aktivis low profile ini pun akhirnya hanya bisa
menyarankan agar pemerintah daerah (Pemda) segera membicarakan hal itu dengan
pihak BRR, mengantisipasi terjadinya hal yang tidak dinginkan tersebut. Udin
mewanti, jangan sampai ”limbah dan sampah” yang ditinggalkan BRR menjadi
masalah bagi Aceh di kemudian hari.
”Kalau itu terjadi, akan perlu banyak uang untuk
menyelesaikan ’sampah-sampah’ peninggalan BRR, dan itu tentu akan sangat
merugikan Aceh,” ujar dia.
Namun, Asisten IV Setda Aceh Usman Budiman melihat
dari kacamata yang berbeda. Menurut Usman, banyak kemajuan yang telah dicapai
selama proses rehab-rekon, meski diakuinya, ada hal-hal yang tidak akan dapat
diselesaikan oleh BRR.
”Perlu diingat, berakhirnya masa tugas BRR, bukan
berarti pembangunan akan terhenti. Pembangunan akan dilanjutkan oleh pemda.
Negera asing juga telah menyatakan tidak akan pergi dari Aceh hingga tahun 2012
mendatang. Jadi, hampir bisa dikatakan tak ada yang perlu dirisaukan menjelang
berakhirnya tugas BRR di Aceh,” ujar dia.
Selama proses rehab-rekon berlangsung, beberapa
kemajuan telah tercapai, seperti pembangunan beberapa pelabuhan laut di
Meulaboh, berkapasitas 4 ribu dbt hingga 9 ribu dbt. Dan terakhir nantinya akan
dibangun pelabuhan di Calang dengan kapasitas 9 ribu dbt yang akan bisa dilabuh
oleh kapal dengan bobot 9 ribu ton.
Selain itu pembangunan Bandara Cut Nyak Dhien di
Meulaboh yang kini bisa didarati pesawat jenis Casa 37-200. Bandara Sultan
Iskandar Muda, Aceh Besar, yang masih dalam tahap pengerjaan, yang apabila
selesai akan mampu didarati pesawat Jumbo Jet atau Boeing 747.
Soal kemungkinan BRR tidak akan dapat menyelesaikan
seluruh kebutuhan rumah bagi korban tsunami, dia menyatakan, pemda bisa jadi
akan mengambil alih hal itu, tapi dibutuhkan keakuratan data atas klaim
tersebut.
Selama ini, paling tidak ada tiga lembaga yang
membangun rumah untuk masyarakat Aceh, pertama rumah untuk korban tsunami, hal
itu ditangani oleh BRR, kedua, rumah bagi korban konflik, oleh BRA, dan rumah
untuk kaum dhuafa, pembangunannya ditangani pemda melalui Dinas Pemukiman.
”Saya pikir, kalau berpijak pada prinsip satu
kepala keluarga mendapatkan satu rumah, kebutuhan rumah telah mencukupi. Tapi,
kenyataannya, ada beberapa kepala keluarga yang waktu tsunami terjadi tidak
tinggal di daerah itu, kemudian pindah ke sana setelah tsunami, ini adalah
kenyataan, ” ujarnya.
Usman mengakui tentang berbagai kejanggalan dalam
proses rehab-rekon. ”Kenyataan memang, rumah yang dibangun oleh satu NGO,
berbeda dengan NGO lainnya. Ini tentu dapat menimbulkan kesenjangan,” sebutnya.
Seharusnya, kalaupun tidak bisa membangun dengan
tipe atau model yang sama, seharusnya, spesifikasi bahan yang digunakan bisa
sama, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan dalam masyarakat korban tsunami.
”Ada perumahan yang dibangun, tapi belum tuntas,
atau rumah bocor, atau lingkungan yang belum layak huni. Ini semua memang
kenyataan. Tapi, semuanya butuh proses dan kedewasaan berfikir dan jangan
sampai kata-kata terima kasih tidak terucap untuk mereka yang selama ini telah
banyak membantu Aceh,” ujarnya.
Terhadap nasib korban tsunami yang masin tinggal di
barak-barak pengungsian, Usman mengharapkan agar BRR dapat menurunkan sedikit
saja kriteria penerima rumah bantuan. ” kalau tidak, maka sampai kapanpun
manusia barak itu tidak akan teratasi,” ujar Usman berharap.
Juru Bicara
BRR Aceh Nias Mirza Keumala juga tak bisa menerima sepenuhnya kritik miring
itu. "Kita harus melihat dari sudut mana dulu kalau ingin mengatakan BRR
itu lamban. Bila dibandingkan dengan bencana yang dahsyat begini tentu tidak
mudah untuk menjalaninya," ujarnya.
Meskipun
demikian pihaknya dapat menerima kritikan itu sebagai bagian dari cemeti buat
BRR memacu kinerjanya. "Tugas BRR kan belum berakhir di Aceh. Ada
dua tahun lagi buat kita untuk menyelesaikan terhadap persoalan yang selama ini
belum selesai," kilahnya.
Dia
menyebutka,n tiga tahun tsunami adalah momen di mana BRR berbuat dan menatap ke
depan. Semua pihak harus merapatkan barisan untuk menyongsong Aceh baru yang
lebih baik. Terutama dengan meningkatkan sektor ekonomi masyarakat dan
mendorong kehadiran investor di Aceh.
Mirza
memaparkan sejumlah kemajuan yang telah dicapai lembaga itu. Antara lain, rumah
yang telah dibangun selama tiga tahun tsunami oleh pemerintah (BRR), NGO, dan
negara donor berjumlah 107.000 unit di Aceh dan Nias. Begitu juga dengan
fasilitas sekolah, rumah sakit, jalan, bandara dan lainnya.
Namun, dia
juga mengakui hingga kini masih ada sebanyak 4.149 kepala keluarga korban
tsunami yang masih tinggal di barak-barak pengungsian. "Sebagian mereka
adalah para penyewa," kata Mirza.
April 2008
ini, BRR secara perlahan akan menghentikan proses pembangunan fisik dan akan
fokus pada proses transisi, termasuk penyerahan aset yang telah dibangun kepada
Pemda Aceh. “Kalau ada korban yang memang rumahnya belum dibangun boleh
melaporkan kembali kepada BRR. Kita akan coba usahakan membangunnya,"
tandasnya. (27/12/2007)
Subscribe to:
Posts (Atom)