Kisah Mantan Panglima Gajah Keng Tengku Hamzah

Hobi Baca Cerita Perang, Turun Gunung Setelah Ada Maklumat Malik Mahmud

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyatakan akan memegang teguh komitmennya, jika pemerintah Republik Indonesia (RI) tidak menodainya. Perjanjian damai RI-GAM tampaknya semakin mulus. Inilah kisah mantan komandan pasukan elit GAM.

RIZNAL FAISAL, Lampisang-Aceh Besar
Senjata minimi itu diarahkan ke helikopter yang meraung-meraung di angkasa menuju arah perbukitan. Heli itu muncul dari kejauhan di balik gunung. Di bawah bukit juga terlihat sejumlah pasukan yang tengah merangsek maju ke bukit. Pasukan berseragam hijau dan topi baja.

Sesaat kemudian terdengar suara rentetan tembakan dari senjata minimi di atas bukit. Helikopter itu kena tembak, lalu berputar-putar jatuh ke bawah dan terbakar. “Itu helikopter milik TNI,” katanya sambil tersenyum. Raut wajah lelaki berkopiah haji itu tampak sangat puas.

Dia lalu mengarahkan senjatanya ke pasukan -- yang katanya juga TNI – yang tengah merangsek naik ke bukit. Senjata berat itu kembali meletup-letup. Satu persatu pasukan berseragam hijau itu roboh tak berdaya. Minimi itu terus menyalak mengambil korban. “Mereka (TNI) kita pukul mundur,” katanya lagi.

Itu bukan perang sungguhan. Lelaki itu tengah bermain game perang-perangan di layar komputer merek LG berukuran 14 inchi. Komputer itu terletak di atas meja di dalam kamar sempit berukuran 2 x 3 meter. Di sudut kanan bawah layar monitor tampak gambar bendera GAM, lambang bulan bintang berlatar merah.

Bendera GAM itu persis terletak dekat senjata minimi yang ditembakkan dari arah bukit. Game itu mengambarkan sebuah upaya penyerbuan pasukan TNI ke markas GAM yang terletak di atas bukit. “Kalau waktu senggang, saya suka sekali main game ini,” kata lelaki bertubuh tingi kekar itu.

Siapa lelaki itu? Ia adalah mantan Panglima Gajah Keng, Tengku Muhammad Hamzah. Komandan Divisi 22, sebuah satuan komando yang dikenal sebagai pasukan elit GAM. Lelaki inilah yang bertahun-tahun memimpin pasukan yang kerap terlibat sejumlah pertempuran besar di rimba Seulawah, Aceh Besar.

Hamzah berkulit putih bersih dan terkesan lembut. Sepintas tak terlihat bahwa lelaki berusia 38 tahun ini adalah salah seorang pimpinan militer GAM yang cukup disegani. Dia pula yang membentuk pasukan elit GAM itu di Krueng Tala, Jantho, Aceh Besar, pada 1988, setahun setelah bergabung dengan kelompok itu.

Pria itu lalu mengangkat dirinya sebagai Panglima Gajah Keng. “Saat itu pasukan kami baru berjumlah 80 orang, dengan persenjataan terbatas,” katanya. Bertahun-tahun kemudian, pasukan Hamzah terus bertambah. “Mereka datang silih berganti. Hampir mencapai seribu orang,” akunya.

Hamzah berjiwa pemberontak. Dia mengaku, sejak kecil, ketika duduk di bangku kelas 3 SD sudah senang membaca cerita-cerita perang dan menggambarnya. Tekadnya kian kental ketika dia mulai masuk pesantren. Sebab itu, ketika dia melihat ketidakadilan di Aceh dia bergabung dengan GAM.

Jabatan Panglima Gajah Keng dipegangnya hampir 14 tahun. Pertengahan tahun 2004 lalu, masa darurat militer ke-2 di Aceh, Hamzah menyerahkan jabatan itu kepada tangan kanannya Tengku Udin. “Sekarang saya hanya menjadi penasehat pasukan Gajah Keng,” katanya.

Itu semua bagian dari masa lalu. Kini, setelah adanya perjanjian antara pemerintah RI dan GAM, yang diteken 15 Agustus lalu, semua akan segera berakhir. Hamzah menunjukkan, lalu membaca sebuah maklumat yang dikeluarkan oleh Perdana Menteri GAM Malik Mahmud dari markasnya di Swedia.

Isi maklumat itu antara lain, “Hari ini kita sudah buat perjanjian damai dalam menyelesaikan konflik Aceh secara damai dan bermartabat. Ke depan kita ambil langkah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. Semua bangsa Aceh diharapkan untuk mendukung semua yang telah disepakati. Kita mesti bersatu hati, tekad dan jangan sampai tercerai berai.”

Maklumat singkat itu dilampiri dengan lembaran butir-butir MoU damai antara pemerintah RI dan GAM. “Ini sebuah perintah. Kami akan mentaati setiap keputusan yang telah diambil oleh pimpinan kami. Kami telah siap kembali berbaur ke tengah-tengah masyarakat,” kata Hamzah.

Lelaki itu mengaku sudah lama turun gunung. Kemarin siang dia terlihat sedang mengobrol santai dengan para petani yang tengah memanen padi di salah satu daerah di Aceh Besar. Para petani itu tampak akrab dengan mantan tokoh GAM itu dan tak terlihat ada kesan takut di wajah mereka.

“Anda lihat sendiri, mereka bisa menerima kami dengan baik,” katanya. Para petani itu menawari Hamzah sepiring mie goreng dan secangkir kopi. Tokoh GAM itu tampak santai makan bersama dengan petani yang lagi istirahat di atas jerami padi. Mereka berkelakar dan tertawa lepas.

Setelah itu Hamzah menyusuri pematang sawah dan menegur satu dua petani yang tengah memotong padi. Dia menanyakan kabar mereka dan sesekali dijawab dengan senyuman oleh petani itu. Perjanjian damai RI GAM ini benar-benar telah menyatukan mereka kembali dengan masyarakat.

“Kami senang mereka (GAM) bisa kembali lagi hidup bersama kami,” kata seorang petani tua bernama Hasan. “Sekarang kami tak perlu lagi takut. Kan sudah damai,” kata bapak tua itu.

Lelaki itu mengaku sejak ditandatangani perjanjian damai RI-GAM masyarakat di desanya sudah lebih tenang. “Dulu kalau malam hari kami susah tidur. Sering sekali ada patroli aparat. Sekarang sudah tidak ada lagi. Kami sudah bisa tidur nyenyak dan pergi kemana pun tanpa rasa takut lagi,” katanya.

Walau suasana damai mulai terasa, secara pribadi Hamzah belum sepenuhnya yakin dengan jalannya perjanjian damai ini. “Saya sendiri belum percaya 100 persen. Saya belum percaya sebelum adanya jaminan dari AMM (Aceh Monitoring Mission) maupun badan dunia sebagaimana butir-butir yang telah disepakati,” katanya.

Keraguan Hamzah itu bertolak dari masa CoHA (Kesepakatan Penghentian Permusuhan) antara pemerintah RI dan GAM 2002 lalu yang berakhir gagal. Kegagalan itu berbuntut dengan ditangkap dan diadilinya tokoh-tokoh GAM yang menjadi juru runding GAM.

“Pengalaman itu masih berbekas. Kami harap pemerintah RI tak mengulangi lagi kesalahan di masa lalu itu. Pemerintah harus benar-benar serius,” katanya.

Itu pula yang diungkap oleh Nasaruddin alias Kuakec. Lelaki berusia 40 tahun itu sempat ditangkap dan diproses secara hukum. Tapi, sebelum sidang digelar, lelaki itu – bersama 40 rekan-rekannya, berhasil kabur dari Lembaga Pemasyarakatan  (Lapas) Jantho, Kabupaten Aceh Besar.

Kemarin lelaki itu turun dari persembunyiannya. Dia mengenakan baju yang telah lusuh tanpa alas kaki memegang sebilah parang, layaknya seorang petani. Sekilas orang tak menyangka bahwa dia adalah anggota GAM. “Sebenarnya saya udah beberapa hari turun dari gunung,” kata lelaki berkulit hitam itu.

Kuakec adalah nama sandi yang diberikan untuk lelaki itu. Mantan supir labi-labi (angkot) itu mengatakan setuju dengan perjanjian damai RI-GAM. “Perdamaian ini bagus sekali. Saya yakin dengan perdamaian ini. Saya harap pemerintah tidak menodainya dan memegang teguh komitmen yang telah dibuat,” katanya.
Apa yang akan Anda lakukan ke depan? “Bagaimana perintah komando,” katanya singkat. (*)
(31/8/2005)
foto istimewa
MENANTI DAMAI: Tgk Hamzah (dua dari kiri) panen padi bersama petani di sebuah desa di Aceh Besar (31/8/2005).
Categories:
Similar Videos

0 comments: