Dicueki GAM, Diabaikan Pemerintah
Ibu dan anak ini sempat dijebloskan ke sel. Dituduh sebagai pasukan Inong Balee, yaitu tentara wanita Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Taapi, setelah MoU RI-GAM tercapai, mereka akhirnya terlupakan.
RIZNAL FAISAL, Neuheun – Aceh Besar
PEREMPUAN paro baya itu terbaring lemah di atas sehelai tikar pandan di ruang tamu rumahnya. Wajahnya tampak menahan sakit. Sebagian tubuh wanita yang rambutnya telah mulai memutih itu tertutup selimut bergaris-garis biru. Obat dan balsem tergeletak begitu saja di sebelahnya.
“Kepala saya sakit sekali. Nafas agak sesak,” kata wanita bernama Rosmawati itu
lirih. Dia mengurut sebentar bagian kepala yang dirasanya sakit. Matanya
mengerjap-ngerjap menahan sakit. “Sejak pulang pelatihan di BPG saya sering
sakit-sakitan,” kata wanita yang pernah disekap selama 1 bulan di sel Polisi
Militer.
BPG adalah Balai Pelatihan Guru. Lembaga itu sekarang berganti nama Lembaga
Pengendalian Mutu Pendidikan (LPMP). Terletak di Desa Neuheun, Kabupaten Aceh
Besar. Semasa Darurat Militer di Aceh, balai itu dijadikan tempat pelatihan
bagi anggota GAM yang menyerah atau ditangkap.
Seribu lebih
mantan GAM dibina di tempat itu selama 3-6 bulan. Mereka diberi pendidikan
ketrampilan hingga ideologi negara. Sepulang dari pendidikan di BPG,
orang-orang ini diberi uang sebesar Rp 2,5 juta perorang oleh pemerintah daerah
sebagai modal kerja untuk memulai hidup baru.
Kini,
setelah perjanjian damai RI-GAM tercapai, alumni BPG Neuheun, termasuk
Rosmawati, justru terkucil. Mereka, yang dulunya disebut-sebut sebagai pasukan
Inong Balee (tentara wanita GAM) tidak lagi dipedulikan, baik oleh pemerintah
maupun oleh orang-orang GAM sendiri.
“Tak
ada lagi yang peduli dengan kami. GAM tidak hiraukan kami lagi. Kalau ketemu
pun mereka tidak mau ngomong. Mereka menganggap kami sudah menyerah, jadi bukan
bagian dari mereka. Saya memang bukan GAM. Saya bukan (pasukan) Inong Balee.
Yang GAM itu anak saya,” kata wanita itu.
Suka tidak suka,
orang-orang lepasan BPG Neuehun itu sudah terlanjur dicap sebagai mantan GAM.
Tapi, ketika pemerintah mengucurkan dana reintegrasi Rp 1 juta untuk setiap
mantan kombatan GAM, mereka justru sama sekali tidak kebagian. Celakanya,
orang-orang GAM sendiri mengganggap mereka ini bukan bagian dari GAM.
“Kami pernah
dengar tentang dana itu. Tapi, kami belum pernah menerimanya. Apakah memang
saya pantas menerima,” ujarnya bertanya. Rosmawati tidak tahu harus mengadu
kemana untuk mendapatkan dana itu. Pengalamannya yang pahit semasa konflik Aceh
membuatnya tidak peduli lagi dengan semua itu.
Rosmawati
tinggal di sebuah rumah permanen di tengah perkampungan nyaman di kawasan
Limphok, Darussalam. Wanita bertubuh gempal berusia 55 tahun itu memiliki enam
orang anak. Sauminya Sulaiman sehari-hari bekerja angon sapi. Sedangkan dia
sendiri sering diminta mengobati orang.
Wanita itu
sebenarnya tidak terlalu asing dengan orang-orang GAM. Dua orangnya anaknya
Zulkifli (28, umur saat itu) dan Jamaluddin (23) belakangan diketahui bergabung
dengan kelompok itu. Kedua anaknya itu tewas ditembak aparat dalam waktu dan
tempat yang berbeda.
Anaknya
Zulkifli tewas ditembak di Gunung Paro, Aceh Besar, tahun 2000. Sedangkan
Jamaluddin, yang menjabat Panglima Mukim Pango ditembak aparat tahun 2001.
“Mulanya saya tidak tahu, kalau kedua anak saya itu anggota GAM. Saya tahu
setelah aparat datang mencari mereka ke rumah,” kata Rosmawati.
Kedua anak
lelaki Rosmawati itu memang jarang pulang ke rumah. Terutama Zulkifli karena
telah berkeluarga. “Paling pulang tiga hari sekali,” katanya. Selain itu, saat
pulang mereka tidak pernah membawa senjata, jadi keluarga tidak curiga. “Saya
kaget sekali begitu tahu mereka itu terlibat dalam kelompok GAM,” katanya.
Tak hanya
itu, sejumlah mantan petinggi GAM, sebut saja almarhum Ayah Muni, Komandan
Operasi GAM Wilayah Aceh Besar dan mantan Juru Bicara GAM Mukhsalmina sebelum
bergabung dengan kelompok itu dan bahkan sesudahnya, sering bertandang ke rumah
itu.
Hubungan
Rosmawati dengan mantan tokoh GAM tersebut, menurut istilah wanita itu sebagai
“anak obat”. Kedekatan itulah yang membuat aparat keamanan curiga dengan
Rosmawati dan keluarganya. Hubungan itu pula yang akhirnya menyebabkan dia dan
anak gadisnya Nurlela ditangkap aparat.
Penangkapan
itu pun terjadi secara tidak terduga. Suatu hari tahun 2003, Rosmawati bersama
anaknya Nurlela diminta oleh Mukhsalmina untuk melihat sosok mayat yang
dievakuasi ke RSUZA Banda Aceh. Nurlela yang saat itu baru pulang kuliah
diminta untuk menemani sang ibu ke rumah sakit.
Setiba
disana mereka kebingungan. Mereka sama sekali mengaku tidak kenal dengan sosok
mayat yang terbaring kaku di kamar jenazah rumah sakit itu. Mayat tersebut
dievakuasi dari suatu tempat di Gunung Seulawah. “Saat itu saya tidak tahu
mayat siapa yang terbaring disana,” kata wanita itu.
Persoalan
jadi ruwet, karena saat itu salah seorang tokoh GAM menelepon pihak rumah sakit
agar menyerahkan jenazah itu kepada dua wanita tersebut. Jika tidak rumah sakit
akan dibom. Pihak rumah sakit lalu mengontak aparat keamanan sehingga akhirnya
Rosmawati dan Nurlela diciduk dan dijebloskan ke sel.
“Saya tidak
tahu apa-apa. Saat diperiksa saya bingung,” aku Rosmawati. Aparat sempat
bertanya kepada wanita itu soal senjata, tapi lagi-lagi dia tak bisa menjawab.
Kedua ibu beranak itu sempat selama 1 bulan ditahan di POM Iskandar Muda,
sebelum akhirnya dibawa ke BPG Neuheun.
Pengakuan
yang sama diungkap oleh Nurlela. Anak dari Rosmawati itu mengatakan keterkaitan
mereka dengan GAM karena dua saudaranya yang masuk ke dalam kelompok itu.
Mereka sendiri mengaku bukan GAM. “Orang-orang GAM dulu sering datang ke rumah.
Tapi, hanya sebatas persaudaraan,” katanya.
Menurut
wanita yang ketika itu baru berumah tangga, sebelumnya dia memang pernah
diminta tolong antar makanan atau uang oleh kelompok itu. Tapi, dia sendiri
mengaku bukan anggota kelompok itu. “Saya tidak pernah latihan atau pegang
senjata. Tapi, dituduh anggota pasukan inong balee,” katanya.
Nurlela
mengaku sedih terhadap apa yang dialami keluarganya. Akibat tuduhan itu, kuliahnya
di Diploma II PGSD sempat terhenti. Setelah keluar dari pelatihan di BPG, dia
baru bisa melanjutkan lagi studinya dan selesai pada 2004 lalu.
“Sekarang
saya lagi buat lamaran untuk ikut CPNS,” katanya.
Wanita berkulit putih itu sudah lama ingin mengabdikan dirinya sebagai guru.
Rencana itu tertunda, karena dia ditahan dan terpaksa ikut pelatihan bersama
para GAM yang menyerah di BPG Neuheun. “Kalau gak ada hubungannya dengan GAM,
mungkin sekarang saya sudah jadi pegawai honor,” katanya sedih.
Ia sempat
mengadu nasib bersama ribuan pelamar lainnya mengikuti tes CPNS di Pemda Aceh.
Nurlela berharap pemerintah dapat memperhatikan orang-orang seperti dirinya.
“Kalau bisa pemerintah memperhatikan nasib kami. Dan bisa meluluskan dalam test
kali ini,” katanya berharap.
Nurlela dan
keluarganya memang sangat menderita selama Aceh didera konflik. Keterlibatan
dua saudaranya telah menyeret seluruh keluarga itu ke dalam pusaran masalah.
Ayahnya Sulaiman juga sempat ditahan aparat selama sebulan lebih, karena
dicurigai ikut terlibat dalam kelompok bersenjata itu.
Adik wanitanya Fatimah Zuhra juga sempat dipukul oleh
aparat keamanan saat dilakukan penggrebekan di rumah mereka waktu itu. “Hidup
kami sangat menderita. Kami terjepit di tengah-tengah. Sekarang kami tidak
punya apa-apa lagi. Saya sakit-sakitan dan tidak lagi mengobati orang,” kata
Rosmawati. (1/2/2006)
0 comments: