Ketika Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah
Indonesia tengah serius menggarap draf RUU Pemerintah Aceh yang baru,
sebaliknya tokoh sebelas kabupaten di Aceh justru memaksa provinsi yang baru
reda dari konflik itu dipecah jadi tiga bagian. Apakah gagasan itu berjalan
mulus?.
GAUNG rencana pemekaran Provinsi Aceh Leuser Antara
(ALA) dan Aceh Barat Selatan (Abas) sebenarnya tak begitu kencang di Aceh.
Gubernur dan DPRD Aceh sejak awal tak ambil pusing dengan gagasan itu. Akan
tetapi, pekan lalu rekomendasi hasil lokakarya tokoh calon provinsi baru itu
cukup mengagetkan juga.
Salah satu rekomendasi itu menyebutkan jika gubernur dan DPRD Aceh tidak
memberi persetujuan pembentukan Provinsi ALA dan Provinsi Abas dalam waktu
singkat, maka 11 kabupaten akan mendeklarasikan keluar dari Provinsi Aceh dan
menyerahkan urusan pemerintahan kepada pemerintah pusat.
Itu sebuah penentangan yang terang-terangan kepada Aceh. Rekomendasi itu
dicetuskan dalam sebuah Lokakarya Pembahasan Draf RUU Aceh di Berastagi, 8 – 10
Oktober 2005. Bahkan, komite pemekaran kedua provinsi itu menunjuk 4 Desember,
bertepatan dengan Ultah GAM, akan pisah dari Aceh.
Rencana pemekaran Provinsi ALA terdiri dari lima kabupaten, yaitu Aceh Tengah,
Bener Meriah, Aceh Tenggara, Gayo Lues dan Aceh Singkil. Sedangkan rencana
Provinsi Abas terdiri 6 kabupaten, yaitu Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Selatan,
Aceh Barat Daya, Aceh Jaya dan Simeulue.
Hasil rekomendasi Komite Pemekaran Provinsi ALA dan Provinsi Abas itu
ditanggapi dingin oleh para politisi di Aceh. “Pemekaran tidak relevan dengan
semangat MoU (Kesepakatan Damai RI-GAM yang ditandatangani di Helsinki, red),”
kata Ketua Komisi A DPRD Aceh Mukhlis Mukhtar SH.
Dia menyebutkan pemerintah terikat dengan klausul perbatasan Aceh tahun 1956,
sesuai dengan MoU antara pemerintah RI dan GAM. Jadi secara otomatis tidak ada
istilah pemekaran. “Itu komitmen antara pemerintah dan GAM. Apa mungkin
pemerintah akan mengubah kesepakatan tersebut,” tanya Mukhlis.
Point 1.1.4. Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956. Itulah bunyi
salah satu butir rencana Undang Undang Penyelenggara Pemerintahan Aceh yang
tertuang dalam MoU Damai antara pemerintah RI dan GAM 15 Agustus lalu. Batas
yang dimaksud itu adalah batas yang berlaku saat ini.
MoU ini secara otomatis menutup peluang bagi upaya-upaya pemekaran Provinsi
Aceh. “Persoalan pemekaran adalah persoalan politik, sebab itu harus disikapi
secara politik. Para elit politik yang terlibat ikut aturan main yang berlaku.
Yaitu, dengan cara-cara yang demokratis dan tidak bersifat anarkis,” katanya.
Aturan seperti apa? RUU pemekaran yang diusulkan oleh Komite Pemekaran Provinsi
ALA dan Provinsi Abas kabarnya sudah ditangan DPR RI. “Iya, kita minta mereka
menunggu itulah. Soal ingin deklarasikan itu hak warga negara, tapi warga
negara juga wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku,” kata Muhklis.
Ketua Komisi A itu mengatakan, sejak
awal DPRD Aceh sendiri telah mengeluarkan rekomendasi menolak pembentukan
provinsi ALA. Abdullah Puteh, yang menjabat Gubernur Aceh kala itu juga tak
setuju dengan ide itu. Alasan pembentukan provinsi baru itu dinilai tidak
begitu kuat.
Selain ALA, waktu itu sempat
berhembus nama Provinsi Samudera Pasee. Gagasan provinsi baru itu timbul
tenggelam di tengah konflik bersenjata yang terjadi di Aceh. Ide pemekaran
Samudera Pasee bahkan menghilang dan tak bergaung lagi. Belakangan muncul
rencana nama provinsi baru Aceh Barat Selatan (Abas).
“Saya tak begitu yakin ini murni
aspirasi rakyat. Jika masalahnya ketidakadilan ekonomi, itu bukan hanya di ALA
saja, di bagian Aceh pesisir juga ada. Ini sebenarnya masalah penyelewengan
kekuasaan. Itu bukan salah Aceh, tapi salah elit politik sendiri. Ini harus
disikapi dengan arif,” katanya.
Selain itu, usulan Komite ALA dan Abas agar soal pemekaran dimasukkan dalam
draf RUU Pemerintahan Aceh yang baru pun tak terpenuhi. “Kita tidak mungkin
memasukkan aspirasi pemekaran, karena tidak sesuai dengan semangat MoU,” kata
anggota Fraksi Bintang Reformasi itu.
Penolakan yang sama datang dari Gerakan Aceh Merdeka. Juru Bicara Militer GAM
Tgk Sofyan Dawod menyatakan, sesuai MoU damai RI-GAM batas Provinsi Aceh itu
dikembalikan ke posisi tahun 1956. Poin ini secara tidak langsung menutup
peluang untuk pembentukan provinsi baru di Aceh.
“Apapun bentuk draf RUU Pemerintahan
Aceh yang dibuat, tidak boleh keluar dari MoU. Batas Aceh itu sudah jelas,
tidak boleh ditambah atau dikurangi,” tegas Sofyan. Pemerintah tampaknya tak
mungkin mengambil risiko untuk mengabulkan permintaan pemekaran Aceh saat
ini.
Lantas, apakah sebelas kabupaten ini
benar-benar serius akan keluar dari Aceh, 4 Desember ini, jika permintaan
mereka tidak juga disetujui? “Itu alternatif terakhir. Tapi, kita akan upayakan
berjuang dengan cara demokratis,” kata Ketua Komite Pemekaran Provinsi ALA Aceh
Tengah Drs Mustafa Ali.
Apakah ada jaminan bila pisah, warga
di dua provinsi baru itu akan makin sejahtera? “Saya tidak begitu yakin. PAD
(Pendapatan Asli Daerah) mereka kan kecil. Sebab itu, elit disana harus
menghitung semuanya dengan cermat. Berapa PAD dan berapa belanja. Jika tidak,
ini justru akan menjadi masalah.” kata Dekan FH Unsyiah Mawardi Ismail SH. (Baca Juga: Ingin Ikuti Jejak Banten)
Ingin ikuti Jejak Banten
JALAN menuju provinsi baru bernama ALA dan Abas masih
penuh liku. Itu menjadi tidak mudah ketika MoU Damai antara Pemerintah RI dan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) disetujui. Tetapi, semangat dan keyakinan para
pencetus ide itu tetap menyala. Mereka tetap yakin provinsi baru itu akan
segera terwujud.
“Alhamdulillah, tinggal selangkah lagi perjuangan kami. RUU Pemekaran sudah
diproses di DPR RI,” kata Ketua Komite Pemekaran Provinsi ALA Drs Mutafa Ali.
Info terakhir, bahwa anggota DPR RI akan gunakan hak inisiatif untuk membahas
usulan ini.
Sepak terjang tokoh-tokoh dari dua
calon provinsi baru ini tak hanya sampai disitu. Menurut Mustafa, mereka
berhasil mendesak Wakil Ketua DPR RI Soetardjo untuk menyurati Mendagri agar
segera mengeluarkan surat seperti yang dikeluarkan pemerintah saat membentuk
Provinsi Banten.
“Beliau (Soetardjo) sudah keluarkan surat ke Mendagri, agar dikeluarkan surat,
sama seperti Banten,” katanya. “Itu alternatif, jika Gubernur Aceh dan DPRD
tidak menyetujui pemekaran provinsi ALA, pemerintah pusat bisa mengeluarkan
Perppu seperti Banten,” katanya lagi.
Elit politik di lima kabupaten di ALA tampaknya tidak main-main. Konon, Pemda
Aceh Tengah saja tahun ini mengalokasikan dana sebesar RP 2,5 miliar dari APBD
untuk biaya pengurusan pemekaran provinsi baru itu. Biaya ini merupakan
setengah dari PAD Aceh Tengah yang cuma sebesar Rp 5 miliar.
APBD Aceh Tengah sendiri, tahun ini mencapai Rp 203 miliar. Bandingkan dengan
PAD murni yang cuma Rp 5 miliar. Pendapatan ini bahkan tak cukup untuk membayar
gaji pegawai sektariat daerah, apalagi untuk belanja pembangunan. Akan tetapi
angka minus itu tidak membuat elit setempat goyah.
“SDA (sumber daya alam) cukup. Secara SDM juga mampu,” tangkis Mustafa. Aceh
Tengah selama ini dikenal sebagai daerah penghasil kopi dan sayur mayur di
Aceh. Selain itu, daerah ini juga memiliki sumber daya hutan tanaman industri
dan hutam alam yang cukup luas.
Sebagian daerah itu memang letaknya agak terisolasi dibanding daerah pesisir
Aceh lainnya. Etnik yang mendiami daerah itu, juga agak berbeda. Begitu juga
dengan bahasa sehari-hari. Tapi, perbedaan-perbedaan itu bukan menjadi alasan
utama warga disana ingin berpisah dari Aceh.
“Sudah 60 tahun merdeka kita
(disini) hidup menderita. Terisolir dan ada ketidakadilan,” kata Mustafa. Ide
pemekaran adalah bagian peningkatan kemakmuran warga di lima kabupaten
tersebut. Dia mengatakan, ide pemekaran ini bukan demi kepentingan segelintir
elit, tapi untuk orang banyak.
Benarkah? Lain ALA, lain pula
rencana pembentukan Provinsi Abas. Ketua DPRD Aceh Barat Daya Said Samsul Bahri
sedikit kaget ketika ditanyai soal ide pemekaran Provinsi Aceh Barat Selatan
itu. “Saya tidak tahu soal itu. Dengar-dengar sih ada, tapi saya tidak pernah
tahu,” katanya.
Ide itu pemekaran Provinsi Abas
ternyata tak cukup bergaung di wilayah itu. “Masyarakat sendiri tidak pernah
tahu tentang ide itu. Seharusnya kita harus himpun dulu pendapat masyarakat.
Sebab keputusan ada ditangan mereka. Apakah mereka setuju atau tidak. Jangan
seperti ini,” kata Said.
Menurutnya, sekarang bukanlah saat
yang tepat untuk bicara soal pemekaran provinsi Aceh. “Aceh inikan lagi
konflik. Kenapa tidak kita selesaikan konflik dulu. Kita selesaikan MoU
(RI-GAM) ini dulu. Kita khawatir kalau MoU ini gagal, situasi Aceh akan kembali
kacau seperti dulu,” katanya.
Politisi itu menyebutkan yang
diinginkan rakyat saat ini adalah rasa aman, damai dan hidup sejahtera. “Itu
yang mereka inginkan, sehingga bisa cari nafkah dengan tenang. Belum ada
masyarakat yang datang ramai-ramai untuk minta membentuk provinsi Aceh Barat
Selatan.” kata Said. (Baca Juga: Ketimpangan Memang Ada)
Mawardi Ismail SH MH,
Dekan Fakultas Hukum Unsyiah
“Ketimpangan Memang Ada”
Rencana pemisahan provinsi ALA dan Abas ibarat gunung
es. Kalangan kampus pun risau dengan gagasan itu. Berikut petikan wawancara
dengan Mawardi Ismail SH,MH, Dekan Fakultas Hukum Unsyiah.
Bagaimana Anda melihat soal pemekaran provinsi ALA dan
Abas?
Ide itu terjadi masa reformasi. Tujuannya untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kenyataannya pemekaran tanpa didasari persiapan
yang cukup akan kontra produktif. Pemekaran akan butuh biaya besar. Sehingga
harus ditangani hati-hati dan matang. Anggaran harus dikelola transparan, baik
sumber dana maupun penggunaannya, agar masyarakat bisa menilai. Jika tidak, ini
akan menguntungkan pejabat, dan kesejahteraan yang diharapkan semakin jauh.
Pemekaran tidak boleh menggunakan emosi, tapi rasio.
Apa yang melatarbelakangi muncul ide pemisahan itu.
Benarkah karena ada ketidakadilan ekonomi atau politik?
Harus diakui selama ini terjadi ketimpangan
pembangunan. Sehingga emosi ini mudah disulut untuk pemekaran wilayah. Tapi,
ketimpangan tidak selalu dijawab dengan pemekaran wilayah. Sebab, salah-salah
yang terjadi bukan perbaikan tapi justru keadaan lebih buruk.
Apakah ini bukan kepentingan politik segelintir elit?
Saya tidak ingin mengatakan ini kepentingan elit.
Tapi, kalau (pemekaran) ini tidak dilakukan secara transparan akan memunculkan
tudingan-tudingan tertentu kepada mereka (kalangan elit).
Komite Pemekaran ALA dan Abas meminta Gubernur dan
DPRD Aceh segera menyetujui pemekaran kedua provinsi itu. Jika tidak, mereka
akan mengambil inisiatif untuk memisahkan diri dari Aceh? Bagaimana menurut
Anda?
Kita ini negara hukum. Setiap perbuatan dan tindakan
ada aturan main yang harus diikuti. Oleh karenanya cara-cara mengancam seperti
itu kurang bagus. Pemisahan itu ada proses, tidak serta merta. Kita minta semua
pihak harus berpikir jernih.
Apakah, kedua provinsi baru itu bisa dibentuk tanpa
persetujuan dari Gubernur dan DPRD Aceh?
Menurut ketentuan hukum persetujuan Gubernur dan DPRD
Aceh sebagai persyaratan. Jika itu tidak ada, maka tidak bisa. Saya kira
inisiator pemekaran harus bicara baik-baik dengan semua pihak terkait.
Apakah dalam draf UU Pemerintahan Aceh ada dibahas
soal pemekaran Aceh?
Karena UU ini merupakan implementasi MoU, maka ide
pemekaran tidak dibahas. Saya kira dengan masuknya point dalam MoU yang
menyebutkan bahwa batas provinsi Aceh berlaku sebagaimana tahun 1956, ini
sebagai jawaban dari penolakan terhadap ide pemekaran.
Artinya pemekaran provinsi ALA dan Abas suatu hal yang
tak mungkin?
Saya tidak berani mengatakan demikian. Di negeri ini
apapun bisa terjadi. (riznal faisal/16/10/2005)
0 comments: