Antara Aceh dan Leuser Antara

Leuser Antara. Apa Itu?. Wacana itu ibarat api dalam sekam. Sewaktu-waktu bisa meledak. Empat kabupaten – Aceh Tengah, Aceh Singkil, Aceh Tenggara dan Aceh Tamiang – ingin pisah dari Aceh. Ide itu tak aneh di era otonomi saat ini. Tapi, masalahnya itu terjadi ketika situasi Aceh lagi sakit. Ada apa?
            “Aceh lagi sakit, jadi butuh obat. Kami butuh ketenangan dan makan,” kata Anggota Komite Pemekaran Provinsi Leuser Antara Tengku Khairul Ar Rasyid. Khairul adalah salah seorang tokoh asal Aceh Tengah yang berada dibalik ide pemisahan itu. “Ini ide lama, bukan hal baru,” katanya.
            Ia berkisah ide pemisahan itu pernah digulirkan oleh sejumlah tokoh Aceh Tengah tahun 1963. Seorang tokohnya adalah Syeh Midin. Ide itu muncul lantaran rakyat disana merasa diperlakukan sebagai warga kelas dua oleh orang pesisir. Pesisir istilah orang Aceh Tengah yang tinggal di daerah bergunung dan dingin untuk orang Aceh lain.
            Gagasan itu akhirnya tenggelam tak jelas ujung pangkal. Saat ini ketika situasi Aceh lagi gawat-gawatnya, orang gayo-istilah orang Aceh untuk warga disana- tiba-tiba melempar isu panas itu lagi. Orang Aceh pesisir curiga. “Ini sebuah manuver politik sejumlah elit disana,” kata Ketua Komisi A DPRD Aceh Said Muchsin.
            Menurut Said, wacana pemekaran provinsi baru sah-sah saja. “Tapi, ini bukan saatnya yang tepat untuk itu,” katanya. Situasi Aceh lagi kacau. Persoalan satu belum selesai ditambah dengan persoalan baru. “Kalau merasa diperlakukan tidak adil, mengapa mesti berpisah. Kan banyak jalan lain.” katanya.
            Said menuding Bupati Aceh Tengah Mustafa M Tamy dan sejumlah elit disana adalah orang berada dibalik ide itu. “Ia ingin jadi Gubernur.” kata Said. Mustafa sebelumnya dikabarkan sangat berambisi jadi Gubernur Aceh, tapi gagal. Sebab itulah kali ini ia buat manuver lain dengan melempar isu ketidakadilan dan keamanan.
            “Nggak ada jaminan setelah lepas dari Aceh, Leuser Antara jadi benar-benar aman. Daerah putih, abu-abu dan hitam berpidah-pindah setiap saat. Jadi alasan keamanan bukanlah alasan yang tepat. Yang benar, semua masalah ini harus kita hadapi dan pecahkan bersama. Bukan menambah persoalan baru,” kata Said.
            Apalagi wacana itu justru cuma mengental di daerah itu. Sedangkan tiga kabupaten lain terkesan tenang-tenang. “Wacana Provinsi Leuser Antara sah-sah saja. Tapi, ini bukan saatnya yang tepat. Aceh masih dilanda kemelut. Kami belum berpikir kearah itu,” kata Bupati Aceh Tenggara Armen Desky.
            Fakta itu diperkuat oleh Sekretaris Komisi A DPRD Aceh Mukhlis Mukhtar SH.  “Kami baru menerima sejumlah kecil tokoh dari Aceh Tengah. Lainnya belum,” kata Mukhlis. Sebab itulah, wacana itu tak digubris oleh DPRD Aceh. “Tak ada agenda kita untuk bahas soal Leuser Antara,” katanya.
            Orang lain boleh berpikir seperti itu, tapi warga Aceh Tengah tampaknya tak ingin mundur. Khairul menyangkal kalau ide pemekaran provinsi Lauser Antara itu merupakan ambisi politik dari kalangan elit di dataran tinggi gayo itu. “Itu nggak benar. Ini merupakan aspirasi warga Aceh Tengah.” Katanya.
Apalagi sinyal pemerintah pusat terasa sangat kuat. “Menko Polkam Yudhoyono dan Mendagri Hari Sabarno telah merespon ide itu.” kata Khairul. Yudhoyono dan Sabarno menggangap Aceh Tengah sebuah Indonesia Mini. Sebab, disana berkumpul beragam etnik – dan ternyata bisa hidup berdampingan.
Wacana pemekaran provinsi Leuser Antara mulai mengental sejak 2001 lalu. Beberapa waktu kemudian muncul juga isu pemekaran Provinsi Samudera Pasee-Aceh Utara, Bireuen. Tapi, kedua gagasan itu mendapat reaksi yang sangat keras dari rakyat Aceh. Ide Pasee tenggelam. Apalagi ide itu muncul ketika Aceh lagi carut-marut.
Anggota DPRD Aceh Mukhlis Mukhtar punya jawabannya. “Mereka (rakyat Aceh Tengah) anggap persoalan yang terjadi disana persoalan impor (dari Aceh pesisir).  Aceh Tengah tak punya kepentingan dengan merdeka (yang dimotori GAM). Mereka merasa hanya menerima imbas konflik Aceh.” Katanya.
Mukhlis secara keras bahkan menyebutkan orang-orang Aceh Tengah merasa dirinya bukan orang Aceh. “Ada dasar sub etnit,” katanya. Aceh Tengah, termasuk Aceh Tenggara, Aceh Tamiang dan Aceh Singkil, memang berbeda dengan daratan Aceh lain. Baik suku maupun bahasa.
Aceh Tengah  suka disebut orang gayo. Mereka terdiri dari dua etnit yaitu suku Toa dan Uken. Sedangkan Tamiang didominasi suku melayu. Tapi, alasan itu tak cukup kuat rupanya. “Kami tak merasa bukan orang Aceh. Bahkan Gayo dan Aceh itu satu. Raja-raja di Aceh ada yang berasal dari etnik Gayo,” kata Khairul.
Lalu apa yang terjadi kalau Lauser Antara jadi kenyataan? “Saya kira itu pilihan yang sulit bagi warga disana. Baik sumberdaya alam (SDA) maupun sumberdaya manusia (SDM) mereka terbatas. Mereka tak lagi menikmati dana bagi hasil migas,” kata Dr A Humam Hamid, pengamat sosial dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah).
Aceh Tengah adalah dataran tinggi berpenduduk 252.738 jiwa. Sekitar 87 persen penduduknya hidup dari sektor perkebunan. Komoditi andalan daerah dingin itu adalah kopi dan jeruk keprok. Selain itu ada hasil hutan. Tahun lalu APBD mereka cuma  Rp 91,2 miliar. Tahun ini mereka dapat berkah dari dana bagi hasil migas.
Bakhtiar Gayo, seorang warga disana menyebutkan kalaupun tanpa dana hasil bagi migas, rakyat Aceh Tengah tidak akan lapar. “Kami pekerja keras. Saat situasi normal, pendapatan perkapita penduduk disini bisa mencapai 10 sampai 25 juta pertahun,” katanya.
Dia menyebutkan sebagian besar rakyat disana rata-rata punya 1 – 1,5 hektar kebun kopi. Satu hektar bisa menghasilkan kopi rata-rata 1 ton pertahun. Harga kopi sekilo bisa mencapai  berkisar Rp 15.000- 20.000. Jadi setiap tahun petani disana bisa bergaji mulai Rp 10 juta – 25 juta setahun. Belum lagi hasil tanaman sela, seperti cabai dan tomat.
Meski Bakhtiar optimis, tapi seorang warga Gayo lain bernama M Iqbal menganggap ide Leuser Antara tidak realistis. “Itu bukan aspirasi rakyat. Itu merupakan ambisi politik sebagian kalangan elit di Aceh Tengah,” katanya. Menurutnya, yang diinginkan rakyat disana adalah hidup aman dan bisa mencari nafkah dengan tenang.
Gubernur Aceh Abdullah Puteh pun tampak gusar dengan wacana itu. “Saya pribadi setuju. Tapi, bagaimana dengan rakyat Aceh.” katanya. Isyarat Puteh tak jelas, tapi menurut Khairul Ar Rasyid, Gubernur Aceh itu tampak jelas keberatan. “Ibarat seorang bapak delapan anak, kalau satu anak minta baju hijau yang lain akan minta juga,” kata Khairul mengutip tamsilan Abdullah Puteh.
Tarik menarik terus terjadi. Sebab itulah muncul kecurigaan jangan-jangan ini merupakan sebuah skenario yang diciptakan Jakarta, untuk menekan Aceh. “Ada permainan dari Jakarta untuk memanasi Aceh Tengah. Mungkin bagian dari problem solving. Tapi, justru membuat masalah tambah rumit.” kata Said Muchsin.
Lalu bagaimana nasib Leuser Antara. “Secara intens dibicarakan di Jakarta. Saat ini sudah hampir final,” kata Khairul Ar Rasyid yakin. Bagaimana kalau gagal. “Kita akan terus berusaha.” katanya. (*)


Elit Aceh Kena Lottery Syndrome

SUATU hari seorang pejabat tinggi di Aceh masuk ke sebuah supermarket. Kantungnya penuh pundi-pundi uang. Ia datang ingin berbelanja, tapi tanpa list. Ia membeli apa saja yang terlihat oleh matanya. Tak peduli apakah itu penting atau tidak. Pokoknya beli. Itulah sebuah kiasan tentang elit di Aceh saat ini.
            “Elit di Aceh kena Lottery Syndrom,” kata Dr A Humam Hamid, sosialog dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Otonomi Khusus telah membuat pundi-pundi uang di daerah bergolak itu tambah gemuk. Hasil bagi migas Rp 2,1 trilyun, ditambah DAU dan DAK plus APBN totalnya mencapai Rp 6,6 triliun.
            Padahal, tahun 2001 lalu Aceh cuma mendapat jatah Rp 515 milyar. Kali ini jatah itu berlipat-lipat. Seperti orang menang lotere. Sementara situasi daerah yang tak aman, menjadikan banyak proyek, terutama dalam bentuk fisik tak jalan. Ketika rakyat masih bergelut dengan kemiskinan, pemda beli pesawat dan heli.
            “Tak ada sense of crisis,” kata Humam. Otonomi Khusus memang telah diartikan secara lain. Menurut Human, esensi sebuah UU No 18 2001 – tentang Otsus Nanggroe Aceh Darussalam, terletak pada pemulihan hak-hak politik rakyat. “Bukan sekadar menghamburkan dana bagi hasil,” katanya.
            Apa itu? UU No 18 2001 telah mengamanahkan kepala daerah dan wakilnya dipilih langsung oleh rakyat. Begitu juga dengan anggota dewan yang terhormat. Mereka bisa di-recall sewaktu-waktu bila rakyat merasa mereka tak lagi becus. Aturan itu harus dijabarkan dalam qanun.
            “Ini menyangkut kepentingan elit, sebab itu tak dihiraukan,” kata Humam. Mereka merasa qanun seperti itu akan mengurangi kewenangan mereka. Akhirnya yang terkesan oleh rakyat otonomi khusus adalah uang yang berlimpah-limpah. Mereka tak tahu kalau mereka punya kewenangan besar mengatur daerah ke depan.
Tak hanya itu, sejumlah qanun lainnya, termasuk soal syariat Islam, juga masih belum rampung. Kabarnya ada 21 qanun yang diusulkan oleh Pemda Aceh. Tapi, setelah setahun UU No 18 2001 diluncurkan baru satu qanun yang disahkan. Yaitu, soal perimbangan keuangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
“Anggapan itu enggak benar. Qanun-qanun itu akan segera kita bahas,” kata Sekretaris Komisi A DPRD Aceh Mukhlis Mukhtar SH. Menurutnya, masalah ini memang harus dibahas secara teliti dan hati-hati. “Kami tak ingin gegabah,” katanya. Ia benar, DPRD Aceh saat ini telah mengagendakan membahas 20 qanun yang tersisa.
Mawardi Ismail SH MHum menilai UU No.18 2001 telah meberikan kewenangan yang luar biasa bagi Aceh. Baik secara materi maupun non materi. Segi materi yaitu mendapat dana bagi hasil yang mencapai Rp 2,1 triliun. Itu jumlah yang tak sedikit. “Kalau dimanfaatkan dengan benar rakyat Aceh akan sejahtera,” katanya.
Menurutnya, pemerintah daerah harus menetapkan skala prioritas dalam memanfaatkan dana-dana itu. Sebab, tak semua proyek – terutama bagunan fisik – bisa dibangun di tengah situasi seperti ini. Ia lebih setuju kalau sebagian besar dana itu dialokasikan untuk peningkatan sumberdaya manusia di Aceh.
“Ini investasi jangka panjang. Kalau SDM kita sudah tangguh daerah ini akan terbangun dengan sendirinya,” kata Mawardi. Pemerintah sendiri sebenarnya telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 700 miliyar untuk sektor pendidikan. Tapi, sebagian dari itu untuk rehabilitasi fisik bangunan 500 lebih sekolah yang terbakar.
Menurut Said Muchsin, pembangunan fisik sektor pendidikan saat ini lebih baik ditujukan di daerah-daerah aman. Misalnya Banda Aceh, saat ini cuma ada 8 SMA, sebenarnya yang dibutuhkan sekitar 20 SMA. Sebab, hampir sebagian besar siswa di daerah konflik pindah sekolah kesana.
Ada empat kebijakan yang ditempuh Pemda Aceh kedepan yaitu penyelesaian konflik, pemberdayaan ekonomi rakyat, keistimewaan Aceh dan pembukaan daerah terisolir. Tapi semua kebijakan itu  dianggap belum berjalan maksimal. Lagi-lagi alasan yang dikemukakan adalah konflik.
Uang adalah rahmat sekaligus petaka. Situasi Aceh yang sulit ditebak itu – menimbulkan keyakinan bagi kalangan LSM, bahwa hampir sebagian besar proyek-proyek tak berjalan sebagaimana mestinya. “Seolah-olah ada kesan melanggengkan konflik,” kata Kamal Farza dari Solidaritas Masyarakat Anti Korupsi (Samak) Aceh.
Sebab itulah Said Muchsin mengusulkan agar pemerintah menangguhkan sebagian proyek fisik yang tidak perlu. Dana-dana itu bisa di-saving dalam bentuk mata uang asing. “Saya kira mata uang dinar cukup baik,” kata Said. Ia khawatir kalau tidak hati-hati, semuanya jadi berantakan.
Itu suatu masalah. Selain itu, dari segi non materi Aceh diberi kewenangan mengatur diri sendiri – kecuali masalah luar negeri, keamanan. Bisa menyusun lagi struktur pemerintahan yang dulu hilang dalam khasanah  Aceh – seperti gampong, sagoe dan nanggroe. “Ini harus diakui suatu yang sangat spektakuler,” kata Mawardi.
Tapi, itu semua kalau tak ditangani dengan tepat akan menjadi bom waktu. Sebab, sebelumnya telah ada UU No 22 tahun 99 – tentang otonomi daerah. Pada UU itu daerah TK II diberi kewenangan mengatur dirinya sendiri. Ketika UU 18 2001 keluar, titik berat pembangunan seolah-olah berada di TK I.
“Ini harus diluruskan,” kata pakar hukum dari Unsyiah itu. Caranya, qanun yang akan dilahirkan harus mengakomodasi kedua UU itu. Sebab kalau tidak ini akan menjadi bumerang. Salah satu akibatnya, ada yang percaya, adalah munculnya wacana pemekaran Provinsi Leuser Antara.
“UU No 18 dan UU No 21 2001 tentang Papua sendiri, sebenarnya merupakan bibit disintegrasi nasional,” kata Dr Humam Hamid. (*)          



 “Ambisi Elit Politik”

Fenomena Leuser Antara telah membuat gundah sebagian rakyat Aceh. Sebelumnya juga. Apa sesungguhnya di balik wacana itu. Berikut petikan wawancara dengan pengamat politik Mawardi Ismail SH MHum, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) yang intens mengamati masalah ini.
Apa motiv munculnya wacana Leuser Antara?
Saya kira ini akibat ketidakpuasan sejumlah elit dalam penyelenggaraan pemerintahan. Lalu ketidakpuasan ini diarahkan kepada kemunculan ide pemisahan daerah.
Anda katakan ini ambisi elit politik dan bukan rakyat?
Saya duga seperti itu. Ketimbang masalah kesejahteraan rakyat. Mereka tak tahu apa-apa. Sebab, kalau dipikir empat kabupaten itu SDA-nya terbatas. SDM-nya juga tak lebih baik dari Aceh pesisir. Terbayang oleh mereka ada provinsi baru, ada jabatan gubernur, bupati, kepala dinas dan posisi kosong lainnya. Padahal, otonomi daerah ke depan luar biasa berat. Belum tentu sanggup dipikul. Jadi, ide ini masih terlalu pagi.
Tapi, rakyat disana mendukung ide itu?
Kita enggak menafikan masyarakat. Masyarakat kita tinngkat pendidikannya masih rendah dan belum mampu melihat ke depan. Mereka sangat mudah dijadikan alat.
Apa nggak ada alasan lain?
Ada semacam anggapan bahwa mereka merasa tertinggal dengan daerah pesisir. Merasa diperlakukan tidak adil. Kalau memang ada ketimpangan, apakah harus memisahkan diri. Ini justru mempersulit keadaan. Ini yang nggak diperhitungkan para elit disana.

Apakah benar ada skenario yang lebih besar dibalik wacana ini. Kabarnya elit Jakarta ikut bermain?
Bisa saja itu terjadi. Tapi, saya tidak lihat indikasi kuat ke arah itu. Walaupun Susilo Bambang Yudhoyono dan Hari Sabarno mengatakan kalau aspirasi rakyat mengapa tidak. Saya kira jawaban-jawaban seprti itu sangat normatif. Yang penting bagaimana elit bisa menangkap kemauan rakyat.
Apa yang mesti dilakukan elit di Aceh?
Setuju atau tidak, wacana Leuser Antara merupakan bahan instropeksi Pemda Tk I Aceh.  Mereka sudah harus menerapkan prinsip good governance. Kebijakan partisipatif, transparasi dan akuntability. Setiap kebijakan TK I tak boleh ada TK II yang dirugikan. Jadi semua orang idenya tertampung, semua orang terwakili, merasa aman bersama Provinsi Aceh. (riznal faisal/8/9/2002)
Categories:
Similar Videos

0 comments: