Pemilihan
kepala daerah (Pilkada) Aceh ternyata menarik minat kalangan pemilih pemula.
Tapi, tak semua mereka paham tentang seluk-beluk hajatan besar ini, termasuk
kandidat yang bertarung. Apa pendapat mereka tentang Pilkada Aceh?
ANSARI
HASYIM, Banda Aceh
Sebiji paku
dan bantalan sudah tersedia di bilik itu. Blooos!!! Satu hujaman mengenai salah
satu gambar. "Awalnya sempat grogi juga karena dilihat banyak orang. Tapi,
akhirnya bisa juga," ujar Rafiqah (17), siswi Madrasah Aliyah
Darussyariah, usai mengikuti kegiatan simulasi pemilih pemula di halaman Masjid
Raya Baiturrahman, kemarin.
Rafiqah
adalah seorang pemilih pemula (beginner
votter) yang akan ikut serta pada Pilkada Aceh 11 Desember nanti. Usianya
kini sudah memasuki 17 tahun. Sesuai Undang-Undang di Indonesia, seorang anak
berusia 17 tahun sudah memiliki hak suara dalam Pemilu. Hak yang sama juga
diperoleh mereka yang sudah menikah meskipun usianya belum mencapai 17 tahun.
Menurut
Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kota Banda Aceh, secara keseluruhan di ibu kota
Provinsi Aceh itu mencatat ada 10 ribu pemilih pemula. Sedangkan menurut KIP
Provinsi, jumlah pemilih pemula di Aceh mencapai 20 persen dari jumlah 2, 6
juta orang pemilih tetap.
Mereka ini
baru pertama kali terdata sebagai pemilih. Untuk pertama kali pula Rafiqah dan
ribuan temanya akan mencoblos 11 Desember nanti. Kemarin, gadis ini hadir
bersama 20 temannya untuk melihat dan merasakan langsung bagaimana suasana di
hari pemilihan nanti yang dikemas dalam kegiatan simulasi bagi pemilih pemula.
Acara ini
diselenggarakan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh bekerja sama dengan KIP
Kota Banda Aceh. Suasananya benar-benar didesain mendekati aslinya. Misalkan,
ada Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) yang diperankan staf KIP Kota
Banda Aceh, para saksi, pengawas dan para pemantau asing yang dihadiri Asian
Network for Free Election (ANFREL).
Di lokasi
disediakan dua teratak. Satu untuk panitia dan satu lainya untuk para pemilih
yang dihadiri oleh 20 siswa. Ada juga fasilitas tempat pemungutan suara (TPS).
Seperti kotak suara, surat suara dan tinta. Simulasi ini ternyata sangat
dirasakan manfaatnya oleh Rafiqah dan teman-temanya sebagai pemilih pemula.
Hanya saja,
saat pencoblosan berlangsung, kertas surat suara yang digunakan bukan dalam
bentuk asli. Melainkan hanya kertas fotocopy. "Ya waktu mencoblos tadi
memang nggak ada foto calonnya. Yang ada hanya kertas fotocopy aja," ujar
siswi kelas tiga IPA itu. Kegiatan itu, membuat Rafiqah semakin optimis pada 11
Desember.
"Moga
saja nanti enggak grogi lagi. Ternyata prosesnya tidak terlalu rumit kok. Cuma
sebentar aja udah selesai," katanya.
Meski tidak
grogi saat mencoblos, namun pada awal-awalnya, perasaan grogi juga sempat
dirasakan Rafiqah. "Ini kan baru pertama kali ikut memilih. Kalau tadi
sempat juga grogi sebentar karena dilihat banyak orang. Mudah-mudahan untuk
hari pencoblosan nanti tidak grogi lagi," tukasnya.
Mungkin
karena sibuk dengan berbagai kegiatan belajar, Rafiqah mengaku tidak mengenal
siapa saja calon gubernur (Cagub) yang akan bertarung dalam Pilkada nanti. Dia
hanya tahu jumlahnya, yaitu delapan pasang. Apakah lagi nama Cagub, visi dan
misi yang mereka usung sama sekali belum dipahaminya. Demikian pula dengan
calon wali kota.
"Taunya
cuma ada delapan calon gubenur. Kalau namanya tidak tahu. Tidak hafal,"
tutur gadis itu. Meski demikian, Rafiqah punya satu calon gubernur yang akan
dipilih nanti. Tapi, itu katanya rahasia pribadi. "Sudah ada sih. Cuma kan
nggak bisa dibilang sekarang. Itu rahasia pribadi," ujarnya lantas
tertawa.
Dia berjanji
pada dirinya akan mencoblos sesuai dengan apa kata hati nurani, memilih
kandidat yang mampu membawa aspirasi rakyat kecil bukan mereka yang hanya
pandai menebar janji. "Yang pasti kita inginya pemimpin itu yang beriman,
taqwa dan jujur. Jangan banyak janji, tapi bukti," paparnya.
Nurlailawati
(17) juga mengatakan hal yang sama. Remaja ini mengetahui kalau pada 11
Desember nanti masyarakat di Serambi Mekkah itu akan menggelar sebuah hajatan
besar. Yaitu, memilih 19 bupati/wakil bupati dan satu gubernur.
Sayangnya,
tidak seperti temanya yang lain, gadis ini kemarin tidak mendapat kesempatan
mencoblos. Melainkan hanya melihat saja bagaimana rangkaian proses tersebut
berjalan. Begitupun diakuinya dengan simulasi itu makin menambah pengalaman.
"Lumayan,
sebelumnya saya nggak banyak tahu bagaimana cara memilih. Ini kan baru pertama
kali," ucapnya. Sama dengan siswa lain, gadis ini juga tidak mengetahui
berapa jumlah gubernur dan wali kota yang bertarung dalam Pilkada.
Lantas
bagaimana nanti mau memilih? Dewi Susanti (17) punya jawabannya. Gadis kelas
tiga IPS ini lumayan jeli dan kritis. Dengan banyaknya kandidat yang
mempromosikan dirinya lewat spanduk, baliho, stiker dan selebaran, ternyata itu
menjadi rujukan gadis ini menentukan siapa calon gubernur atau wali kota yang
layak dipilih.
"Saya
akan lihat dari tulisan seperti stiker dan baliho yang banyak terpampang di
tempat-tempat umum. Mungkin kami sebagai pemilih pemula bisa mendapat informasi
dari itu," paparnya.
Seperti
harapan pemilih pemula lainya, Dewi juga ingin kelak pemimpin yang terpilih
mampu mengemban amanah. "Saya inginya pemimpin itu yang jujur, menepati
janji dan memperhatikan rakyat kecil. Jangan hanya bisa ngomong doang,"
ujarnya bersemangat.
"Kita
tidak ingin Aceh dipimpin orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kita ingin
yang jujur-jujur saja," timpal Rizal, teman sekelasnya. Meski usianya 18
tahun, namun Rizal mengaku baru pada Pilkada 11 Desember ini bisa ikut memilih.
Wakil Ketua
Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Naimah Hasan mengatakan, untuk Pilkada
di Aceh tahun ini, pihaknya telah berupa melakukan sosialisasi kepada para
pemilih melalui paket simulasi yang dilakukan di sejumlah kabupaten/kota di
Aceh.
Melalui
kegiatan itu diharapakan akan tumbuh kesadaran para pemilih muda untuk bisa
terlibat dalam setiap pemilu. Dia mengatakan, secara keseluruhan KIP mencatat
ada sekitar 20 persen jumlah pemilih pemula. Jumlah ini juga termasuk mereka
yang selama beberapa tahun terakhir yang tidak bisa memilih karena konflik.
“Termasuk juga
mereka yang dari kalangan Golput,” ujarnya.
Direktur
Asian Network for Free Election Somsri Hanuntasuk menilai, usia 17 tahun untuk
ukuran anak di Indonesia dinilai cenderung masih belum matang untuk ikut
terlibat dalam pemilu. Karena proses pembelajaran politik dan demokrasi di
Indonesia masih minim di sekolah-sekolah.
Namun, kata
Somsri, dari segi pembelajaran politik, hal tersebut sangat positif.
“Itu artinya akan semakin banyak pemilih yang bisa ikut telibat dalam
Pilkada,” ujarnya.
Menurutnya,
jumlah 20 persen tersebut lumayan signifikan. Sebab itu, kalau pemerintah tidak
memperhatikan para pemilih pemula ini, maka dampaknya bisa menjadi sangat
berbahaya. “Pada tahap ini sangat diragukan dan sangat berbahaya. Karena mereka
ini bisa dimamfaatkan oleh pemilih senior. Salah satu solusinya pemerintah
harus gencar melakukan pendidikan politik dan demokrasi di sekolah-sekolah,”
paparnya. (Desember 2006)
Foto: Aneuksejarah.blogspot.com
Foto: Aneuksejarah.blogspot.com
0 comments: